Posted by : Unknown
Selasa, 15 Maret 2016
Kupilih Jalan Gerilya: Roman Hidup Panglima Besar Jenderal Soedirman
Judul : Kupilih Jalan Gerilya: Roman Hidup Panglima Besar Jenderal Soedirman
Pengarang : E. Rokajat Asura
Penerbit : Imania, 2015
Harga : 64.000
Sinopsis :
“Yang sakit itu Soedirman, Panglima Besar tidak pernah
sakit,” ujar Panglima Soedirman ketika Bung Karno menolak ikut gerilya.
Tubuh ringkih itu memilih jalan gerilya, membakar semangat prajurit,
membuktikan pada dunia—negara Indonesia tetap ada sekalipun para
pemimpin politik telah ditawan Belanda. Air mata Alfiah menderas setiap
membayangkan suaminya yang sakit-sakitan mendaki bukit, menembus
belantara, mengadang tanah tandus berbatu, menghindari serbuan Belanda
tanpa henti. Tapi di balik wajah pucat itu sinar matanya tak pernah
berubah—tajam berkarisma, membuat Simon Spoor frustrasi. Operasi
pengejaran Soedirman selalu gagal. Saat Soedirman kembali ke Yogyakarta,
rakyat menyemut di pinggir jalan menyambut. Air mata jadi saksi
bagaimana lelaki kurus pengidap TBC akut itu telah gemilang
mempertahankan martabat negeri. Ia berhasil mengusir berbagai aral
rintang, tapi tak berhasil mengusir penyakit TBC yang bersarang di
tubuhnya. Setelah rongrongan Belanda berakhir, ia pun menghadap llahi,
mengembuskan napas terakhir dengan tenang setelah memeriksa rapor
putra-putrinya. Langit Magelang menjadi saksi.
“Aku
bangga sekali, Bu, sepanjang hidupku Gusti Allah senantiasa memberikan
jalan yang sederhana, dekat dengan alam, anak-anak dan rakyat yang hidup
dan pikirannya sederhana. Rasanya tugasku sudah selesai. Kalaupun pada
akhirnya di-pundut Sing Kagungan, aku rela,” ujar Soedirman sebelum
menutup mata.
Jika Anda berminat silahkan komentar atau hub :
Fb : Duta Van Einstein
Terima Kasih :)
Buku Jenderal Soedirman, Kupilih Jalan Gerilya; Roman Hidup Panglima
Besar Jenderal Soedirman
Design Cover by Yudi Irawan S.Sn
Apresiasi terhadap buku ini begitu kentara dari Penulis buku Best Seller
Atlas Wali Songo (K.H. Agus Sunyoto) Pak Agus Sunyoto memberikan
komentarnya terhadap buku ini, berikut bunyinya. "Sangat menarik.
Pengungkapan yang cemerlang antara aktualita, faktualita, politik,
sejarah, budaya dan jiwa patriotik melalui bahasa naratif yang
komunikatif dan mudah di cerna."
pun dengan penulis buku Dalang Galau Ngetwit dan konsep Ngawur Karena
Benar (Sujiwo Tejo)
"Di dalam buku sejarah, pahlawan adalah orang yang pada akhirnya
membosankan. Di dalam roman, pahlawan bisa penuh warna seperti manusia
biasa pada umumnya. Begitu pula Kiai Lelonobronto, nama samaran Panglima
Besar Jenderal Soedirman dalam Karya E. Rokajat Asura ini.
Kejenakaannya bersama sang adik, Samingan, maupun romantismenya bersama
Sang Istri, Alfiah, barulah sebagian warna warni sang gerilyawan dalam
karyanya."
Ketika Bung Karno menolak ikut gerilya. Tubuhnya yang ringkih dengan
menahan sakit paru di dada memilih jalan gerilya, membakar semangat
prajurit, dan membuktikan pada dunia bahwa negeri tercinta Indonesia
masih ada walau pemimpin politik kita telah di tawan oleh Belanda.
Mungkin, inikah skenario yang sudah di buat oleh para pemimpin bangsa
kita ketika itu, Bung Karno lebih memilih jalur diplomasi dan Dimas
(demikian Bung Karno memanggil) Soedirman memilih gerilya, kontak fisik
dengan pasukan Belanda. Ada sebuah percakapan antara Dimas dan BUng
Karno yang sangat menyentuh dada dan membuat hati ini tak karuan di buku
ini. "Sekarang yang akan memimpin perang itu, Panglima Besar atau
Panglima Tinggi?" ujarnya. Bung Karno mengerenyit tapi kemudian
tersenyum tenang. "Kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi Dirman,
kondisinya sudah begini!". "Siap!" Soedirman menghormat. "Kalau Panglima
Tertinggi tidak bisa memimpin, mohon izin Panglima Besar akan memimpin
perang gerilya ini!. kau masih sakit, Dirman!". Sergah Bung Karno, nada
suaranya meninggi!". Yang sakit itu Soedirman, Panglima Besar tidak
pernah sakit," ujarnya. Hiks hiks. Luar biasa dialog yang menggugah rasa
nasionalisme ku. Bagaimana mungkin seorang yang sedang sakit, badan
ringkih dan di tandu mempunyai Semangat perjuangan dan pengorbanan yang
begitu luar biasa, hanya untuk membela tanah air kita tercinta. Hidup
matinya hanya untuk Indonesia kawan. Apakah para pejabat negeri kita ini
sudah membaca buku-buku sejarah yang menggugah rasa memiliki nusantara
ini. apakah mereka yang membuat kebijakan untuk mengelola negeri ini
masih bisa berjuang tanpa pamrih, tanpa perduli golongannya. Apakah
masyarakat kita termasuk saya sudah menghargai dengan cara perilaku yang
membuat bangga nusantara. Aaaaah sudahlah. Kok malah ngelantur.
lanjuuuut.
Dialog tersebut adalah pembuka dari buku ini yang begitu hidup, mengalir
deras dan membakar emosi kita tentang sosok yang sederhana namun gigih
dalam memperjuangkan setiap cita-citanya. Dalam sosok Jenderal Besar
ini, kita bisa mengambil sebuah pelajaran tentang hidup, kehidupan,
romantisme, kegigihan, dan kecerdasan.
Pernah suatu ketika di tahun 1934, Soedirman yang tergabung dan memimpin
kepanduan Hizbul Wathan Muhammaddiyah cabang Cilacap mengadakan diklat
di kaki Gunung Slamet. Memang seru ketika kita curhat di ketinggian atau
untuk mengorek sesuatu dari kawan kita, dan itu yang di lakukan Sidik,
seorang sahabat Soedirman untuk mengetahui lebih jauh tentang rasa suka
Soedirman terhadap Alfiah, putri seorang saudagar batik dan pengurus
Muhammadiyah. Dan seperti biasa, seorang yang kasmaran tidak akan
menjawab dengan jujur apa yang di rasakannya. udara dingin Gunung Slamet
menjadi saksi kegigihan seorang Soedirman yang mampu bertahan,
sementara kawan-kawan yang lain turun dan tak kuat menahan teror dingin
di Gunung Slamet itu. Hingga azan Subuh berkumandang Soedirman tetap
mampu mengalahkan rasa dingin itu. Apa yang di ajarkan oleh Raden
Suwarjo Tirtosupono, begitu membekas dalam diri Soedirman. "Susah dan
senang menghadapi tantangan alam, berasal dari pikiran kowe sendiri,"
ujar Raden Suwarjo. Kegigihan yang luar biasa yang akhirnya menjadikan
seorang Soedirman mampu mengemban tugas negara dengan briliant. Walau di
tandu, walau parunya hanya sebelah yang bekerja, walau tubuhnya
ringkih, strategi, kharisma dan wibawanya mampu membuat komando yang
begitu tepat dan dahsyat.
Sang pejuang gerilya itu pun akhirnya tak mampu melawan penyakitnya.
"Aku bangga sekali, Bu. sepanjang hidupku Gusti Allah memberikan jalan
yang sederhana, dekat dengan alam, anak-anak dan rakyat yang hidup
dengan pikirannya sederhana.Rasanya tugasku seudah selesai, Kalaupun
pada akhirnya di pundut sing kagungan, aku rela,"ujar Soedirman
Jangan sekali sekali melupakan sejarah kawan. Semoga Seluruh anggota
masyarakat Indonesia, para anggota dewan dan pejabat yang membuat
kebijakan mampu bersinergi dengan elegant. dan mereka yang mempunyai
kebijakan selalu berpihak untuk untuk kebaikan rakyat yang bisa
dinikmati oleh rakyat indonesia dan cita-cita luhur para pendiri bangsa
kita tercapai. Amiin. Kesederhaan Bung Hatta mungkin bisa di bilang
zuhud. Kegemilangan Bung Karno dalam membangun karakter bangsa membuat
bangsa kita di segani ketika itu, bahkan Bung karno di nobatkan sebagai
pahlawan Islam di Asia-Afrika. ketika Bung Karno berpidato Bung Karno
yang fenomenal di depan Sidang Umum PBB XV, 30 September 1960. Pidato
itu diberinya judul To Build the World Anew, Membangun Tatanan Dunia
yang Baru.
Aymara
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/4ym4r4/buku-jenderal-soedirman-kupilih-jalan-gerilya-roman-hidup-panglima-besar-jenderal-soedirman_552aeb6b6ea834f640552d2b
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/4ym4r4/buku-jenderal-soedirman-kupilih-jalan-gerilya-roman-hidup-panglima-besar-jenderal-soedirman_552aeb6b6ea834f640552d2b
